Sabtu, 03 April 2010

asi bagi kehidupan bayi

Asi, air susu ibu adalah hal yang teramat penting bagi kehidupan seorang bayi. Wahai ibu-ibu muda, please berikan asi mu pada bayimu. Janganlah beranggapan bahwa memberikan asi adalah tradisi yang kuno, dan memberikan dot dengan isi susu (yang belum tentu terjaga kehalalannya) dikonsumsi your baby adalah modern. Aduh kacian baby mu sayang!!!!!!!!!!

Betapa berartinya asi. Bener jangan anggap menyusui adalah hal kuno. karena dengan pasti kalo anda tidak memberikan asi adalah sebuah kesalahan yang fatal.
Ada beberapa kelebihan asi yang harus anda ketahui:
1. memberikan sistem imun kepada seorang bayi
asi akan memberikan kekebalan yang teramat sangat istimewa yang tidak bisa diberikan oleh obat atau barang yang lain. anak yang disusui asi akan lebih kebal tehadap penyakit bila dibandingkan dengan anak yang ngedot
2. praktis
dilihat dari cara penyajian, asi sangatlah praktis. tanpa harus membersihkannya sampe betul-betul bersih, tidak perlu dimasak sampe 10 menit(ngirit BBG), dan tidak memerlukan tempat penyimpanan khusus
3. murah
tidak perlu mengeluarkan biaya untuk susu sapi, tapi cukuplah sang ibu makan yang banyak sehingga asi juga banyak. jangan takut gendut, karena dengan menyusui itu termasuk salah satu diet alami
4. menimbulkan rasa nyaman dan tenang pada sang anak.
anak nyaman karena dekat dengan jantung ibu. nah ibu muda kalo menyusui harus ikhlas, karena keihklasan, ketenangan ibu, anak tidak akan rewel. Ibu yang resah waktu menyusui anak, membuat anak rewel
5. halal
selama sang ibu mengkonsumsi makanan yang halal maka asipun akan halal, 100% tanpa lemak babi
6. melaksanakan KB secara alami
karena dengan menyusui, ibu yang sangat suburpun bisa merenggangkan jarak kelahiran anak.
7. jangan takut penampilan jadi lebih buruk
wanita yang baik hanya untuk pria yang baik juga. Tubuh indah kita perhiasan bagi suami, jangan (tidak perlu) dipertontonkan pada laki-laki lain. Jadi jangan pedulikan komentar yang mengatakan menyusui memperburuk penampilan.
Allah sudah menciptakan semua hal sesuai dengan porsinya. Syukurilah.
bener, sodaraku kaum muslimah, berikan asimu. jangan biarkan asimu terbuang percuma. Asi yang tidak diberikan bisa berdampak buruk. malah bisa menyiksa dengan beberapa penyakit.
Maukan sodaraku memberikan asi?
Baca selengkapnya...

Jumat, 02 April 2010

isa.annas.ulil







Baca selengkapnya...

fiksi

EPISODE SEMESTER TERAKHIR
Keluar dari ruang dosen, Nisa menghela nafas panjang, “Ya Allah, ujian ini belum selese juga. Sampe kapan Pak Cokro tetep bersikukuh seperti ini.” Kata Nisa dalam hati.
Di depan ruang dosen masih menunggu sahabatnya, Ratih. Dan melihat sobatnya bermuram durja, tahulah apa yang terjadi,
“Gagal lagi ya, Nis?” Tanya Ratih berjalan menjejeri Nisa. Mereka berdua berjalan pelan meninggalkan ruang dosen.

“Yah begitulah, Tih!” Nisa mendesah pelan.
“Padahal kupikir kamu tu paling pinter di angkatan kita, tapi kenapa ya Pak Cokro kaya’ gitu. Apa kamu pernah nyakitin hati beliau, mungkin ga sengaja gitu?” Tanya Ratih pelan, takut menyinggung perasaan gadis manis disebelahnya.
“Apa aku model orang kaya gitu, Tih?” Nisa balas bertanya.
“Kali aja.”
“Aku sendiri juga heran. Dah 5 judul kuajukan, tapi tetap aja semuanya dibantai dengan mesra dan telak. La klo kaya gini terus aku sport jantung setiap menghadap beliau”.
“Selama ni kamu kan ga pernah neko-neko. Aku aja yang emang dibawah kamu lancar saja walo dosen pembimbingnya sama, Pak Cokro.” Ratih mengakui emang dirinya selalu kalah bila dibandingkan Nisa yang selalu mendapat IP diatas 3 koma 5. “Ato coba kamu tanya Pak Cokro, apa mau beliau? Biar agak mudah urusannya.” Ratih memberi satu solusi.
Nisa yang mendengar usul Ratih mengkerut keningnya, “Maksudmu apa? Aku kan ga pernah ngelakuin suap menyuap kaya gitu.”
“He bukan suap tau. Ni biar kamu tau apa mau Pak Cokro? Yang ngalamin nasib kaya kamu itu selama aku disini kayane cuman kamu tok. Ga da deh mahasiswa yang punya nasib kaya kamu dalam bimbingan Pak Cokro. Aku dah tanya pada smua mahasiswa bimbingan beliau. Kamu istimewa kali bagi beliau.” papar Ratih dengan semangat 45.
Nisa terdiam sejenak, mencoba meresapi apa yang dikatakan sobatnya dan juga temen tidurnya selama 3 taun ni. Bagaimana aku bisa lulus 8 semester kalo terganjal skripsi yang ga pernah dapat persetujuan dosen pembimbingnya, pikir Nisa.
Selama kuliah di jurusan akuntansi, Nisa sudah memasang target untuk bisa lulus 4 tahun. Ni berhubung dengan semakin mahalnya biaya kuliah yang ditanggung ortunya di desa. Sebagai anak pertama seorang bidan desa dan bapaknya yang hanya petani kecil, kuliah sudah merupakan hal yang hebat. Sebenernya Nisa setamat SMA hanya ingin kuliah setaraf D3 seperti ibunya biar langsung bekerja, biaya ga semahal kalo kuliah sarjana, tapi bapaknya sudah bercita-cita, kalo dia harus jadi sarjana.
Nah dari latar belakang kaya gitu, Nisa berusaha keras untuk cepet menyelesaikan kuliah dan dengan hasil yang memuaskan. Adiknya yang baru kelas 7 juga diharapkan mengikuti jejaknya, harus berpredikat sarjana. Beruntung otak kedua anak itu lumayan encer sehingga bisa dengan mudah untuk mendapatkan beasiswa.
“La aku trus gimana? Masa aku tiba-tiba nanya beliau apa mau beliau, ga etis kali” kata Nisa.
Mereka berdua masuk kantin kampus, duduk dan tersenyum pada ibu pengelola kantin.
“Taktunggu lo!” seru Bu Titik, pengelola kantin kampus. Bu titik selalu suka bila dibantu Nisa. Dan memang setiap hari selese kuliah, Nisa selalu mampir kekantin untuk membantu, ya melayani mahasiswa yang beli dan juga mau cuci piring. Lumayan bisa dapat satu porsi makan siang dan kadang kalo ada makanan yang tidak habis terjual, Nisa akan membawa pulang sedikit makanan itu.
“Tar ya bu, ada sedikit yang harus diselesekan dengan Ratih.” Kata Nisa
“Gini lo Nis. Pokoknya kamu harus cari tau apa mau Pak Cokro”. Kalo sudah keluar kata pokokkannya, yaaa saran Ratih mau tidak mau harus dicoba karena inilah cara pertama yang harus ditempuh demi suksesnya target 4 tahun sarjana.
“Ok. Aku akan coba ikuti saranmu, tapi aku takut Tih!” kata Nisa pelan dan setengah putus asa. Dia juga memikirkan akibat apa yang akan terjadi jika dia sudah melaksanakan cara ala Ratih. Dia tau Pak Cokro bukan model dosen suka di suap. Beliau terkenal ramah, pandai, suka bercanda dan tak ada kejelekan dosen setengah abad lebih 6 tahun itu di mata para mahasiswa.
Pak Cokro bahkan terkenal sebagai dosen yang jiwa sosialnya tinggi dan itungannya dosen senior yang paling ramah dengan mahasiswa. Tapi yang tak pernah disangka Nisa malah terjadi di akhir masa kuliahnya. Untuk menyetujui judul saja sulitnya minta ampun.
Nisa berusaha bersabar dengan segenap kekuatan yang ia miliki. Dia tak pernah mengeluh setiap keluar dari ruangan Pak Cokro. Bahkan juga tak pernah berburuk sangka terhadap dosen pembimbingnya itu. Dia hanya menganggap bahwa judul dan kerangka berfikir yang dia ajukan tidak atau sulit untuk dibuat skripsi dan harus diganti.
Sudah 5 judul yang diajukan, dan Nisa selalu dengan semangat mengajukan setiap judul ke Pak Cokro di setiap hari Rabu selama 2 bulan ini. Setelah presentasi kerangka berfikir, dosennya selalu membantainya dengan manis lewat penjelasan yang memang sangat masuk akal. Walo begitu, Nisa tetep semangat menyanggah, tetapi selalu berhasil nihil alias nol besar.
…………………………………………………..

Hari ini hari Rabu.
Dengan masih diliputi rasa penasaran kenapa Pak Cokro sampai seperti itu membantai setiap judul Nisa, hari ni Nisa tetep harus maju dengan satu judul lagi yang dia yakin akan berhasil. Untuk golongan mahasiswa secerdas Nisa ga akan sulit mencari berbagai sumber dan mempelajarinya jadi akan mudah saja bagi Nisa untuk mendapatkan ide skripsi yang akan disusunnya.
Rencananya dia akan mengajukan judul yang pertama kali diajukan ke Pak Cokro 2 bulan yang lalu. Tapi dengan kerangka berfikir yang agak diubah sedikit. Dia sudah mendapatkan banyak sumber pustaka untuk landasan teorinya sehingga dia akan siap untuk menghadapi Pak Cokro.
Tengah malam tadi seperti biasa sholat tahajud untuk menambah kepercayaan diri dan diberi kekuatan untuk maju menghadap Pak Cokro serta berdoa agar cara yang akan ditempuh tidak berakibat yang negative sehingga tidak menambah dosa bagi gadis manis yang berhijab sejak masuk kuliah.
Sholat hajat juga sudah dilakukan sejak SMA demi membahagiakan orang tuanya, menjadi anak yang sholihah.
“Tih doakan aku ya?” pinta Nisa pelan duduk di pinggir tempat tidur kosnya.
Ratih mengusap pundak sobatnya,
“Tentu Nis. Kita harus lulus bareng.” Semangat Ratih.
“Kamu ga usah ikut aku ya? Biar aku maju sendiri. Aku setengah tidak yakin berhasil sih”
“He ingat! Jangan sampe keluar kata yang mengandung rasa tidak percaya diri. Aku tidak suka mendengarnya dari mulutmu. Kamu bukan orang yang mudah menyerah. Aku cuman bisa omong, mungkin ande aku jadi kamupun dah pasti setiap malam menangis meratapi nasib kenapa jadi orang bodo. Tapi kalo kamu, tidak! Kamu harus berjuang. Ingat Allah tidak akan memberikan ujian melebihi kemampuan umatnya.” tegas Ratih meyakinkan Nisa.
“Ok!” Nisa berdiri menyiapkan diri pergi ke kampus. Utamanya ruang Pak Cokro. Hanya untuk mengajukan judul skripsi yang sudah direvisi. Hari ni kebetulan memang tidak ada kuliah. Hari ni dikhususkan untuk hari mengurus judul. Sebenarnya ya agak berlebihan, tapi ni kasus langka bagi Nisa.
Masih dengan setengah ragu tapi mau tidak mau ini harus dilakukan, Nisa mengetuk ruang Pak Cokro. Memang bagi dosen setaraf beliau, akan memiliki ruangan tersendiri untuk konsultasi bagi para mahasiswa. Dan kebetulan Pak Cokro merupakan ketua Jurusan Akuntansi.
“Assalamu’alaikum” Sapa Nisa pelan tapi pasti.
“Wa’alaikum salam, masuk!” terdengar balasan suara bariton Pak Cokro.
“Sebelumnya saya minta maaf telah mengganggu. Saya mau konsultasi tentang judul skripsi saya. Minggu kemaren saya telah maju tapi Bapak masih belum berkenan untuk menyetujui.” Dengan mantap Nisa mengutarakan maksud bertemu dengan sang dosen. Terlihat dosennya tersenyum,
“Saudara bener-bener masih semangat ya, coba andaikata mahasiswa lain pasti akan menghilang berbulan-bulan hanya gara-gara ditolak berulang kali”.
“Andekata saya menghilang juga tidak akan menyelesaikan masalah kan Pak?” tanya Nisa pelan sambil sedikit melirik raut wajah Pak Cokro.
“Judul apalagi yang saudara bawa? Oya saudara udah maju berapa kali ya?” Pak Cokro bertanya dengan entengnya.
“Ya udah lebih dari lima kali Pak. Ni yang ke enam. Bapak siap mendengarkan kerangka berfikir saya?” Nisa mempersiapkan diri.
Melihat sang dosen mengangguk, maka dari mulutnya yang mungil, yang tak pernah terpoles lipstick meluncurlah dalil dalil akuntansi yang telah dipelajarinya untuk memperkuat penjelasan kerangka berfikir bagi judul yang diajukan kali ini. Setengah jam Nisa menerangkan tentang bagan alur akuntansi perusahaan bagian pemasaran untuk pemanfaatan bahan baku yang rusak.
Sang dosen terlihat mengangguk dan agak sedikit puas, “Saya masih belum bisa mengetahui alur berfikir saudara!” Dengan santenya keluar suara dari sang dosen dan dengan segera melontarkan sanggahan yang telak.
Nisa berfikir sebentar dan melanjutkan penjelasannya dengan mantab. Tapi tetap saja sang dosen mengomentari bahwa judul dan kerangka berfikir yang telah diuraikan Nisa belum memuaskan beliau. Ada saja yang dibantah dari penjelasan Nisa yang sudah bener-bener sangat pas.
Nisa tak habis berfikir, kenapa masalah ini tidak bisa terurai dengan jelas padahal menurut dia tak ada yang salah dalam teori-teori yang telah disampaikan. Semua yang disampekan sudah pas dengan teori dan juga sudah disesuaikan dengan kenyataan yang terdapat di masyarakat, sebab sebelum mengajukan judul, Nisa pasti studi pustaka di lebih dari 3 perpustakaan universitas lain dan juga telah observasi pendahuluan di lapangan tempat penelitiannya. Karena kebetulan dia mau mengadakan penelitian pada perusahaan industri yang non komersil. Sehingga data-data bisa diambil secara transparan dan akan sangat berguna bagi perusahaan tersebut untuk mengevaluasi hasil kerja perusahaan.
“Saudara Nisa, maaf. Saya masih ada kuliah. Mahasiswa saya sedang menunggu”. Suara Pak Cokro kalem tapi mengagetkan Nisa.
“Terima kasih Pak” Nisa bergegas mengemasi kertas yang sedari tadi di atas meja yang berisi alur berfikir skripsinya.
“Aku tunggu saudara di rumah nanti sore. Tau rumahku kan? Jangan bawa kertas-kertasmu itu. Pusing aku melihat dalil-dalil itu.” Pak Cokro berdiri siap untuk melangkah.
“Ya Pak. InsyaAllah saya akan datang jam setengah lima”. Kata Nisa dengan gemetar karena baru kali ini akan datang kerumah dosennya. Dia tidak tau apa yang akan terjadi nanti. Dalam hati cuma berdoa yang terbaik bagi dirinya. Sekarang nasib kelulusannya berada di tangan Pak Cokro. Asalkan tidak melanggar norma yang didapatkan sejak kecil, dia mau mau saja melaksanakan. Tapi kalo nanti sama sekali tidak sesuai dengan harapannya, dia akan maju ke fakultas untuk mengubah dosen pembimbingnya.
“Ok. Assalamu’alaikum!” Pak Cokro meninggalkan ruangan diikuti Nisa yang masih belum bisa menerka kearah mana dosen membawa pembicaraan mengenai skripsinya.
……………………………….
“Wah kok sampe kamu disuruh ke rumah. Kelihatannya tidak baik nih.” Ratih malah berburuk sangka terhadap Pak Cokro setelah mendengar cerita Nisa.
“Itulah Tih, aku bingung malah dengan disuruh ke rumah.” Nisa terlihat pasrah.
“Pak Cokro itu ga model laki-laki yang suka cewek cantik. Masa mau yang ngeres-ngeres. Kelihatannya ga mungkinlah. Tapi kok kamu tok yang disuruh kerumah. Aku dulu mpe sekarang kalo bimbingan pasti di ruang dosen.” Ratih membantu berfikir mau apa sang dosen tua tersebut dengan kedatangan Nisa ke rumah.
“Dah ah. Ntar kalo aku diapa-apain aku akan tereak keras. Beliau kan tinggal di kampung, pasti tetangga sebelah akan dengar kalo aku diperlakukan tidak baik. Ah kenapa aku berburuk sangka seperti ini. Aku yakin, Pak Cokro ga akan ngapa-ngapain aku.” Tegas Nisa mantap.
“Aku perlu ikut ga?” tanya Ratih.
“Ga sah. Aku yakin, Allah akan melindungiku. Yang menentukan nasibku adalah Yang DiAtas. Aku ga akan lagi berburuk sangka” Nisa menepuk bibirnya. Berusaha meralat ucapannya.
“Ok lah. Aku bantu doa saja”
…………………………………………………
Sore hari jam setengah lima tepat Nisa sudah berdiri di depan rumah bercat hijau. Tangannya memencet bel rumah. Dari luar terdengar suara langkah mendekati pintu depan dan begitu pintu di buka, muncullah seorang ibu berjilbab coklat muda tersenyum ramah,
“Assalamu’alaikum” sapa Nisa hormat.
“Wa’alaikum salam”. Jawab ibu berjilbab coklat sambil tersenyum dan mempersilakan masuk. “Ayo silakan masuk”.
“Terima kasih bu” Nisa meletakkan pantatnya di kursi tamu. Sambil menunggu apa yang akan terjadi di rumah dosennya sore ini.
Sang ibu duduk di kursi yang ada disamping tempat duduk Nisa. Dengan perasaan tak menentu Nisa mencoba untuk tersenyum.
Ruang tamu itu lumayan luas, kalo tidak salah ukuran 6 x 8 m. Nisa menghitungnya dengan singkat lewat banyaknya plafon yang sederhana diatas dia duduk.
Dan memang rumah Pak Cokro sederhana tetapi mengesankan betapa orang-orang yang mendiami rumah tersebut adalah orang-orang intelek. Dan memang rumah itu model loji peninggalan Belanda. Kalo menurut Nisa, Pak Cokro dari segi financial pasti berlebih. Selain sebagai dosen senior di universitas paling terkenal dan favorit di kota ini, Nisa tau kalo beliau juga mengelola sebuah pabrik kain.
Sementara istrinya seorang dokter spesialis bedah. Hanya itu yang Nisa tau tentang dosennya. Dia tau karena profil Pak Cokro pernah di muat dalam majalah kampus.
“Ini nak Nisa ya?” tanya ibu itu ramah.
“Ya bu. Saya sudah janjian dengan Prof Cokro untuk membahas skripsi saya.” Terang Nisa.
“Ya Ibu sudah tau. Sebentar ya, Nisa mau minum apa?”
“Tidak usah repot-repot bu.” Tolak Nisa penuh rasa ewuh.
“Bapak ada kuliah sore. Ya pulangnya kira-kira menjelang magrib”.
“Tapi tadi bapak menyuruh saya datang sore ini bu” Nisa semakin tidak merasa enak hati.
“Iya ibu tau. Nah sambil menunggu bapak pulang kuliah Nisa ikut ibu saja ya? Ibu mau jalan-jalan. Tadi Bapak bilang ga papa minta tolong kamu untuk menemani ibu jalan-jalan karena beliau selalu sibuk sementara kalo ibu kepengen refresing, belanja misalnya seringnya sama pembantu. Kebetulan sore ini ibu tidak buka praktek, ambil cuti 2 hari. Cape kerja terus.”
Taulah Nisa sekarang, ternyata kedatangannya untuk membantu istri sang dosen untuk menemani belanja.
“Tapi Bu…”
“Pokoknya kamu nemeni ibu. Kita nanti belanja di pasar Johar. Tidak ke Mall lo. Ibu kangen belanja di pasar.”
Seorang pembantu datang dengan segelas sirup merah, meletakkannya di atas meja dan mempersilakan Nisa untuk minum,
“Diminum dulu!”
“Baiklah bu” Nisa pasrah saja. Makanya aku tadi kok dilarang bawa kertas-kertasku yang tersusun rapi hasil pemikiranku, pikir Nisa.
“Kamu tunggu di sini sebentar, ibu ambil tas dulu”. Ibu bergegas ke dalam. Dan beberapa menit kemudian keluar lagi dengan membawa tas belanja yang isinya beberapa bungkusan kado.
Nisa berdiri dan dengan tenang berjalan beriringan dengan ibu. Ibu itu menggandeng Nisa sambil terus bercerita,
“Ibu mau nostalgia ke pasar. Dah lama ibu tidak belanja disana. Katanya sekarang penjualnya tambah banyak, nah ibu takut kalo ga bisa keluar pasar. Kamu pernah masuk Johar tidak?”
“Wah Pak Cokro ngerjain aku” pikir Nisa
“Iya lumayan agak hafal bu. Karena ….” Nisa tidak melanjutkan.
“Karena apa?” tanya ibu penuh selidik.
“Malu bu!” Nisa tersipu. Begitu langkah mereka mendekati jalan raya, mereka berhenti,
“Kita naek angkota saja ya?” tawar Bu Cokro.
Nisa hanya mengangguk menyetujui saja apa yang diucapkan Ibu.
“Apa ibu tidak takut kepanasan? Juga banyak debu lo.” Tanya Nisa penasaran yang tak hilang-hilang. La gimana tidak penasaran, mau belanja saja musti repot kaya gini. Padahal bisa dengan mudah mengeluarkan mobil dari garasi dan pergi sendiri, tak perlu berpanas-panas naek angkota.
“E tadi pertanyaan ibu belum kamu jawab.”
“Saya kesini seringnya untuk beli buku dan juga kertas. Maklum bu, uang saku dari ibu di desa ngepas.” Nisa tersenyum simpul.
“Nis, Ibu tidak mau naek mobil kali ni karena pengen merasakan apa yang selama ini anak ibu lakukan. Anak ibu yang terakhir selama kuliah tidak pernah naek motor atau mobil, tapi milih naek angkota. Ibu heran kenapa sampe kaya gitu, jawabnya singkat saja, apa coba?”
Nisa menunggu lanjutan cerita yang kelihatan mulai menarik.
“Jawabannya sederhana, melatih kesabaran. Aduh ada-ada saja. Tapi emang bener ya. Dari tadi kita nunggu angkota ya belom dapat-dapat.” Ibu itu tersenyum. Tak berapa lama angkota yang ditunggu datang dan membawa dua orang beda generasi ke tempat yang diinginkan Bu Cokro. Nisa hanya diam dan mengikuti saja dengan santai dan bahkan melupakan pembantaian yang dilakukan Pak Cokro tadi siang.
Ternyata sesampe di Johar, Bu Cokro mendatangi beberapa penjual pakaian dan penjual mainan untuk diberi kado yang dibawa dari rumah.
“Pedagang pakaian yang aku beri kado tadi adalah orang yang pernah memberi kesempatan pada ibu untuk bekerja selama kuliah. Yang penjual mainan, pernah memberiku sebuah boneka dengan harga sangat miring untuk aku hadiahkan kepada adikku yang ulang tahun. Ternyata mereka masih ditempat semula.” Jelas bu Cokro dengan penuh perasaan.
O jadi begitu ceritanya, pikir Nisa. Dan di pasar ibu hanya membeli 1kg jeruk. Terus pulang. Persis magrib mereka sampe kerumah Pak Cokro lagi.
Di pintu sudah berdiri Pak Cokro dengan senyum ramah, tak terkesan mempermainkan Nisa.
“Assalamu’alaikum Pa!” sapa Bu Cokro.
“Wa’alaikum salam.” Balas tuan rumah.
“Nis, kamu masuk dulu. Sholat disini saja sekalian makan nanti pulangnya biar diantar Pak Jo.”
Nisa masih dengan sopan masuk rumah dan duduk. Diikuti Bapak dan Ibu Cokro,
“Gimana jalan-jalannya Ma?”
“Sukses Pa, cuman akhirnya mama menyerah, pulangnya ga bisa naek angkot lagi, tapi pake taxi. La sudah magrib!’
“Nis, Bapak minta maaf ya atas semua sikap bapak selama ini terhadapmu. Tapi ini belum berakhir. Ok judulmu yang tadi sudah aku pahami betul dan aku setuju. Tapi untuk menyetujui proposalmu ada syarat lagi Nis” kata Pak Cokro.
“Ya Nis, ibu juga minta maaf sekali. Ini semua gara-gara ide bapak yang ga masuk akal. Tapi ibu setuju dengan ide bapak” jelas bu Cokro.
“Alhamdulillah!” kata Nisa pelan, bersyukur, “Insya Allah akan saya kerjakan proposalnya segera. Tapi syarat apa lagi yang harus saya jalani Pak?” Nisa berfikir, “kenapa aku menemukan dosen pembimbing yang suka ngerjain aku seperti ini?”
“Syaratnya berat banget Nis. Tapi ini benar-benar harus kamu jalani agar kamu lulus cepat. Sekarang kita sholat dan makan nanti aku berikan syarat yang kedua.” Pak Cokro mengajak Nisa segera sholat magrib bersama mereka. `
…………………………………..
Sepanjang perjalanan pulang didalam mobil yang dikemudikan Pak Jo, Nisa hanya diam tak habis berfikir dengan syarat yang diberikan Pak Cokro. Syaratnya terlalu berat. Berat sekali. Apalagi untuk gadis sebaik Nisa. Nisa berulang kali menghela nafas panjang.
Sesekali Nisa melihat Pak Jo melihatnya dari kaca spion didepannya, sekedar melihat ekspresinya. Tapi Nisa tidak mempedulikan.
“Bagaimana aku harus menceritakan pada bapak dan ibu dirumah?” pikir Nisa. “Pak Cokro hanya memberi waktu satu hari untuk mempertimbangkan syarat kedua.
Dan tentunya Ratih tidak bakalan dikasih tau apa yang sedang dialaminya sekarang. Tapi Nisa memang sudah menetapkan hati untuk menerima syarat Pak Cokro yang sungguh sangat tidak masuk akal itu. Karena Nisa sudah sedikit berfikir baik buruknya akibat yang ditimbulkan syarat ke2. Dari situ Nisa menghitung segi positifnya agak banyak bila dibandingkan dengan segi negatifnya. Tapi sampe Nisa tiba dikosnya, dia belum bisa menalar ada dosen kaya gitu.
“Gimana hasilnya Nis?” tanya Ratih.
“Judulku tadi siang ok kok”. Senyum Nisa.
“Tapi kamu kok malah jadi aneh?” Ratih heran dengan sikap Nisa yang malah tidak gembira, tapi kelihatan bingung.
“Aku cape. Tak tidur dulu ya?” ijin Nisa pelan.
Tubuhnya direbahkan, selimut dinaikkan dan tenggelamlah Nisa dalam perang batin. Mata tentunya tak bisa terpejam. “Ande aku lapor ke fakultas malah jadi rame, padahal ni hanya mengenai skripsi yang sederhana. Aku ga mau menjadi bahan berita, tapi kalo dijalani kok ya berat banget” pikir Nisa.
Ratih membiarkan Nisa seperti itu. Karena dia sendiri tengah asyik dengan tugas kampus yang sedang diketiknya.
Di dalam selimut Nisa terngiang kembali syarat yang diajukan Pak Cokro,
“Nis, untuk bisa cepet selese skripsimu bapak minta syarat yang amat berat padamu, nak. Bapak tau kemampuanmu. Sebenarnya bapak sendiri tidak tega memberikan syarat ini padamu, tapi bapak terpaksa melakukannya. Sebenarnya semua judul yang kamu sampekan pada bapak semuanya bagus. Tapi bapak ingin sesuatu dari kamu Nis. Bapak cuman memberikan waktu 24 jam untuk memikirkannya. Ibu juga setuju.” Ibu Cokro yang duduk di samping Nisa tersenyum lembut.
“Kami hanya berharap padamu Nak” tegas Bu Cokro.
“Apa syarat itu Pak? Semoga saya bisa melaksanakannya ”
“Kami masih mempunyai satu anak yang belum menikah. Kami mau kamu menikah dengannya”.
Nisa bengong, bingung dan sama sekali tidak menyangka akan dihadapkan syarat yang demikian heboh. Dirasakan dunia melayang, berputar dan membanting dirinya untuk hancur berkeping-keping.
Dia sama sekali tidak bisa berkata sepatah katapun mendengar Pak Cokro mengatakan kalimat itu.
“Memang seperti dictator kami ini, Nak. Tapi kami sudah terlalu yakin hanya kamu yang bisa melaksanakan. Terserah mau dilaporkan rector, kami tidak takut. Hanya kamu yang kami inginkan jadi menantu kami.” Kata bu Cokro. “Kalo tidak, bapak takkan meloloskan kamu sampe kapanpun, kamu juga tidak bakalan bisa mengganti bapak dengan dosen pembimbing lain kecuali kalo bapak meninggal”
Bagaimana Nisa bisa menyetujui syarat itu? Untuk menikah belum pernah terbayangkan sedikitpun di benak Nisa. Selama ini yang ia pikirkan focus ke kuliah dan wisuda secepatnya. Tak ada model pacaran seperti layaknya teman-teman kampusnya. Walopun dah seringkali pula ada beberapa mahasiswa yang menaruh hati padanya. Ingin sekedar jalan dengan Nisa semua cowok dah pasti akan ditolaknya.
Dia masih belum mau tersentuh yang namanya urusan pacaran. Bahkan dia hanya menginginkan menikah saja langsung daripada harus sering gonta ganti pasangan dan semua pasti berefek yang kurang baik. Pacaran bagi Nisa adalah menumpuk maksiat saja. Tak ada yang tidak disertai nafsu. Semua yang dia lihat sehari-hari di depan matanya, pacaran selalu disertai nafsu. Bikin pusing kepala.
Nisa memang cantik walo dengan tubuh yang relative agak mungil bila dibandingkan Ratih yang berpostur peragawati. Selain itu kecerdasan otaknya juga tak disangsikan lagi. Bahkan semua dosen di jurusannya pasti akan mengenal dia karena selain ramah, juga sopan. Masih ditambah suka sekali membantu teman.
Sering teman meminta tolong untuk mengetikkan skripsi atau makalah kepadanya dengan bayaran yang tentunya di bawah standar rental pengetikan skripsi atau makalah. Bahkan dia bisa mengedit hasil tulisan teman-temannya. Sudah barang tentu ini merupakan lahan yang bagus untuk menambah income bagi Nisa dan sangat membantu bagi para mahasiswa yang lain yang punya kemampuan intelektual di bawah Nisa.
Pernah Nisa mengalami pengalaman yang agak di luar dugaan berkaitan dengan kegiatannya yang suka sekali berhadapan komputer. Kalo selama ini Nisa membantu teman-temannya mengetik naskah di rental computer karena kebetulan orang tuanya di kampung belum bisa membelikan computer atau laptop, suatu sore ada seorang pria dari sebuah toko mengantarkan laptop dan printer ke kos Nisa sebagai hadiah ulang tahun. Waktu itu Ratih berseloroh kalo Nisa memiliki pengagum misterius yang berhati murah sehingga memberikan hadiah senilai lebih dari enam juta an. Bagi Nisa, nominal itu merupakan angka yang fantastis.
Nisa semula menolak tapi orang itu ngeyel kalo dia hanya disuruh mengantar ke alamat yang disebutkan pembelinya. Akhirnya Nisa mau menerima pemberian itu. Tentunya dengan hati yang serba takut dan penasaran siapa yang mengirim barang semewah itu padanya. Pria yang mengantar juga tidak memberi tau siapa yang menyuruh. Dia hanya melaksanakan tugas, hanya itu informasi yang diperoleh. Barang tersebut akhirnya digunakan dengan sangat baik. Nisa hanya mendoakan siapapun orangnya yang telah memberi barang tersebut di hari ulang tahunnya yang ke 20.
“Astaghfirullah!” seru Nisa mengagetkan Ratih yang asyik dengan laptopnya.
“Nis kamu ngigau ya?” Ratih bergegas membuka selimut yang menutupi wajah Nisa dari tadi.
“Sorry, aku berkata apa tadi?” tanya Nisa biar Ratih menyangka dirinya benar-benar sudah tidur.
………………………………….
Belum juga Nisa memberikan jawaban Prof Cokro padahal batas waktu yang diberikan tinggal 30 menit, terdengar nada dering dari hp nya,
“E ibu, ada apa bu kok tiba-tiba menelpon?” tanya Nisa kepada orang yang telah mengagetkannya, ibu tidak pernah menelponku, kalopun sekedar kangen paling banter ibu hanya sms saja. Kalo sampe menelpon berarti ada masalah yang serius untuk segera dibicarakan, pikir Nisa.
“Nduk, kamu masih di Semarang kan?”
“Pertanyaan ibu kok aneh banget sih? Ya iyalah bu. Emange aku kemana? Aku baru saja mandi.”
“Nduk apa yang sedang terjadi denganmu?” ada nada kuatir dari mulut ibunya.
“Ya ga da apa-apa bu. Biasa saja.”
“Ibu ada tamu dari Semarang sekarang ini. Dan yang ibu dengar sungguh membuat ibu kuatir denganmu, Nduk”
Alis Nisa berkerut, siapakah yang datang ke rumah menemui orang tuanya.
“Siapa bu?”
“Kata mereka berdua, mereka melamarmu. Ibu menelpon ini meminta penjelasan darimu. Kenalkah kamu dengan mereka berdua?” tanya ibu pelan tapi mampu membuat hati Nisa bergetar hebat. Andekata tidak sedang duduk mungkin dia akan terduduk lemas mendengar apa yang baru saja dikatakan ibunya.
“Apakah yang datang namanya Pak Cokro, Bu?” tanya Nisa gemetar. Tidak menyangka akan kejadian ini dialaminya diusia yang masih sangat muda, 22 tahun.
“Betul Nduk. Piye Nduk ibu harus menjawab apa? Mereka berdua malah mendesak ayahmu untuk segera menikahkan kamu dengan anaknya. Apa kamu hamil?” ibu sampe menduga hal yang bener-bener membuat gemeter. Tidak hanya badan tapi seluruh organ dalam dan luar tubuh Nisa.
“Aku tidak hamil bu. Demi Allah bu. Aku masih anak ibu yang polos dan perawan.” Nisa bersumpah atas nama Allah untuk meyakinkan sang ibu.
Yah ibu mana yang tidak kuatir, punya anak cewek kuliah di kota besar tanpa pengawasan suatu saat anak terlena dan melakukan hal yang tidak diinginkan sangatlah mudah. Apalagi melihat pergaulan anak muda zaman sekarang. Sudah terlihat biasa pasangan yang terpaksa nikah muda karena hamil.
“La sekarang mereka berdua masih menunggu jawaban dari kamu, Nduk?”
“Tapi ibu percaya kan kalo aku tidak hamil? Kalo tidak percaya, besok ahad aku pulang silakan ibu cek sendiri” Bagi seorang bidan desa tentunya hal yang mudah untuk sekedar mengecek anak gadisnya hamil atau tidak.
“Ya Nduk. Ibu juga butuh penjelasanmu tentang ini semua.”
“Kira-kira ibu dan bapak mengijinkan aku menikah sekarang apa tidak?” Nisa mengambang tak yakin.
“Kalo kami inginnya kamu sarjana dulu, baru nikah Nduk, tapi kalo ada yang ngeyel seperti ini bagaimana?”
“Anak laki-lakinya ikut datang apa tidak bu?”
“Tidak Nduk. Mereka kesini hanya berdua. Diantar sopirnya, pasti orang kaya ya nduk?”
“Kalo bapak dan ibu mengijinkan aku menikah sekarang ya, jawablah iya bu. Tapi kalo bapak keberatan, aku manut bapak bu.”
“Kelihatannya setelah mendengar penjelasan Pak Cokro itu, bapakmu setuju saja. Ibu juga manut. Kami berdua ikut apa kata kamu”.
Nisa heran dengan jawaban ibunya. Apa saja yang telah dikatakan Pak Cokro sehingga bapaknya yang teguh pendirian sampe mengikuti apa yang disampekan sang tamu. Sambil menghela nafas panjang, Nisa membayangkan nasibnya yang begitu terpuruk harus menikah disaat dia belum menginginkan dan dengan orang yang sama sekali sekali belum pernah dilihatnya.
“Bener ini ibu jawab ya?” tanya ibu lagi seakan tidak percaya dengan keputusan putri kesayangannya. Memang pernah bergulir omongan tentang hal menikah, tapi tidak secepat ini. Dan ibu tau prinsip yang telah lama dipegang putrinya, bahwa meraih gelar sarjana adalah tujuan jangka pendek. Setelah itu baru memikirkan yang lain.
“Ya bu. Dengan syarat Ibu bapak setuju” tegas Nisa.
Tak terasa pulsa yang ada di hp ibunya terdengar nada peringatan bahwa pulsa sudah tidak mencukupi untuk melakukan panggilan.
Pembicaraan terputus dan membuat badan Nisa menggigil gemetar, Nisa menjatuhkan diri kelantai dan bersujud sambil berurai air mata. “Apa yang akan terjadi dengan diriku nanti Ya Allah. Aku berserah diri padaMu. Tubuh ini hanya milikMu. Lindungilah aku ya Allah. Semoga keputusan yang aku ambil adalah keputusan yang terbaik walo aku sendiri tidak tau apakah keputusan ini benar atau salah.”
…………………………..
Nisa berhadapan dengan ibu dan bapaknya setelah makan malam,
“Bapak ibu percaya Nisa kan? Nisa tidak mungkin melanggar komitmen yang Nisa buat selama ini. Dan ibu percaya kan aku tidak hamil?” Nisa begitu datang tadi pagi langsung memeluk ibunya dan menyuruh ibunya mengecek dia hamil apa tidak.
“Percaya Nduk. Cuman yang ibu dan bapak tidak menduga sebelumnya, kalo ada orang yang tiba-tiba melamar kamu tanpa kamu memberi tau kami terlebih dulu.” Kata bapak.
Nisa tidak mau memperlihatkan hatinya yang serba belum yakin dengan keputusan yang dibuat. Karena keputusan ini adalah keputusan terbesar yang tentunya akan mengubah segalanya yang ada pada diri gadis manis ini. Keputusan yang dibuat ini sudah tentu akan mempunyai pengaruh besar buat masa depan yang menanti di hadapannya. Di depan kedua orang tuanya, Nisa bersikap tabah dengan apa yang dialaminya.
“Mereka berdua kemaren bilang apa saja Bu?”
“Yah tujuan mereka selain silaturahmi, melamar kamu supaya kalian tidak terjerumus ke dunia maksiat. Yah melindungi kalian berdua kata mereka. Bapak ya setuju dengan alasan yang logis semacam itu. Lagipula kamu kan hampir selese kuliahmu. Kata mereka tinggal skripsi, bisa 2 bulan selese.”
Nisa bengong dengan jawaban polos bapaknya yang memang petani yang hanya bisa baca tulis. Prof menyembunyikan hal yang sebenarnya, pikir Nisa. Tapi biarlah. Toh menikah tidak akan menghalangi dia mencapai gelar sarjana. Ah Nisa, cara pikir yang pendek. Nisa cuman tidak mau menganalisis hasil keputusannya yang berpengaruh sangat besar bagi masa depannya kelak seperti kalo dia menganalisis setiap permasalahan ekonomi atau menganalisis soal laporan keuangan yang diberikan dosen-dosennya.
Menghadapi masalah ini akan dibuat mudah saja. Toh kalo dipikir-pikir kok mau banget sih prof punya mantu dia. Apa yang diinginkan dari dirinya? Lagian apa bener anak laki-lakinya mau sama dia. Kalo sampe mau dipaksa nikah oleh orang tuanya di zaman sekarang ini kan ya agak aneh juga. Anak laki-laki lagi. Kok mau nikah dengan orang yang belum dikenalnya.
Nisa sampe sekarangpun tidak pernah tau bagaimana bentuk anak laki-laki prof. Cokro. Bagaimana kalo laki-laki itu memang aneh dan punya banyak kekurangan, ato cacat misalnya. Nisa hanya pasrah dengan hal ini, mungkin ini jodoh bagi dia. Kalopun tidak jodoh, ato misalnya laki-laki itu tidak menyukainya, cerai kan ya mudah saja. La inilah yang membuat Nisa semakin bulat untuk mau melaksanakan syarat Prof. Cokro.
Nisa melihat kenyataan di masyarakat, orang nikah cerai mudah saja. Tapi ini tidak tujuan Nisa yang sebenarnya. Yang penting lulus secepatnya.
“Nduk, mereka minta dua minggu lagi kalian menikah. Kami menyetujuinya dan mereka menyerahkan urusan ini kepada kami. “ kata ibu.
“Ibu, aku minta hanya ijab qobul saja ya, tidak perlu mengundang tamu, sederhana saja. Yang penting kan sah.” Pinta Nisa.
Ibu memperlihatkan barang apa saja yang telah dibawa Pak cokro waktu melamar dia 3 hari yang lalu. Nisa hanya terdiam melihat barang-barang tersebut. Ada baju, rok, jilbab dan masih banyak lagi. Semua barang itu hanya dipegang dan ditata kembali kemudian dimasukkan kamarnya.
“Ibu juga seperti itu menyampekan kepada mereka nduk.”
“Bapak pengen tau seperti apa calon mantu bapak, Nduk” kata bapak.
Nisa terkejut, “Nisa tidak punya fotonya pak! Besok juga tau sendiri” padahal dalam hati Nisa ya nelongso, aku saja belum tau dia seperti apa pak, batin Nisa.
“Kamu itu dah bapak sekolahke jauh biar pinter, jadi sarjana, tapi kok ya cepet dilamar orang, Nduk. Sama seperti teman-temanmu disini. Mereka malah sudah pada punya anak.” laki-laki setengah abad itu tak habis pikir juga dengan kenyataan yang ada dihadapan.
“Bapak sebenernya setuju atau menyesal dengan ini semua sih Pak?” tanya Nisa ingin tau yang sebenarnya perasaan bapaknya.
“Wis takdir kali Nduk”
“Besok habis subuh Nisa kembali ke Semarang ya? Nisa akan kembali lagi hari sabtu 2 minggu lagi.”
“Baiklah Nduk. Sana pergi tidur”
Nisa melangkah pelan menuju kamar tidurnya yang sangat sederhana. Tubuhnya yang penat karena perjalanan tadi pagi, sekarang baru terasa.
Sambil merebahkan diri, meneteslah airmatanya. Pak Cokro yang dia kenal selama ini sebagai dosen yang terkenal tidak punya sifat jelek dimatanya sampe tega membuat pilihan bagaikan makan buah simalakama. Dijalankan, ga tau akibat apa yang akan dijalani kelak. Tidak dijalani sudah jelas kuliahnya akan molor kapan selesenya dia sendiri tidak bisa memastikan, yang tentunya akan menambah beban berat bagi kedua orang tuanya.
……………………………..
Nisa duduk terdiam di depan Pak Cokro di ruang dosen lante 2.
“Hari ni kamu kerumah bapak ya? Ada baiknya kamu melihat anak bapak dahulu. Bapak yakin kamu pernah melihatnya karena dia juga masih kuliah S2 jurusanmu ini. Insya Allah tahun ini lulus. Kamu besok kalo mau ya langsung saja ambil S2 sekalian.” Kata Pak Cokro yang membuat Nisa kaget,
“Ternyata masih kuliah juga ya?” tanya Nisa dalam hati
“Kenapa bapak sampe memilih saya?” tanya Nisa pelan.
“Bapak belum bisa menjelaskannya sekarang. Suatu saat pasti akan bapak ceritakan kenapa bapak kok sampe hati memaksamu menikah sekarang dengan orang yang tidak kamu ketahui pula. Bapak yakin saja, kamulah orangnya. Itu saja. Sudahlah. Kita berangkat sekarang.” Ajak Pak Cokro yang segera diikuti Nisa. Nisa hanya manut saja. Seperti yang selama ini ia lakukan terhadap orang tuanya.
“Bapak hanya mengantarmu sampe kerumah bapak. Bapak nanti tidak bisa menemani kamu karena ada keperluan.” Diletakkan pantatnya di jok mobil dan segera menjalankan dengan kecepatan sedang.
Betapa terkejutnya Nisa melihat kenyataan yang ada didepannya. Saat ini Nisa berhadapan dengan laki-laki yang bakal menjadi suaminya 3 hari lagi. Dia memang telah mengenal laki-laki itu. Terlihat raut wajah laki-laki itu juga kaget dan seakan tak percaya dengan apa yang dilihat.
“Bapak tinggal dulu” Pak Cokro langsung keluar rumah lagi.
Tubuh Nisa terasa panas dingin menahan perasaan terkejut dan takut ditambah kuatir. Laki-laki itu cepat menguasai keadaan,
“Maapkan papa ya?” kata Iqbal, laki-laki yang sudah sering Nisa lihat di kampus itu.
“Ah eh ya.” Nisa tergagap menjawab pertanyaan Iqbal yang duduk di sebelahnya terpisah oleh meja kecil di teras samping rumah prof. Cokro. Matanya sengaja tidak mau menatap Iqbal tapi malah diarahkan ke ikan-ikan kecil yang sedang berlarian di kolam di dekatnya duduk.
Mereka sengaja memilih teras samping rumah yang sejuk oleh semilir angin sore yang segar walopun tak bisa dipungkiri kalo Kota Semarang adalah kota yang panasnya minta ampun. Tapi adanya pohon mangga yang ada di samping rumah Pak Cokro dan beberapa bunga yang terawat rapi dibawahnya, seakan menghilangkan suasana panasnya kota Atlas.
“Namamu Nisa ya?” tanya Iqbal.
Nisa mengangguk saja. Dia hanya berusaha untuk menenangkan hatinya daripada memperhatikan Iqbal.
Walopun keduanya satu jurusan tetapi belum pernah sekalipun mereka bercakap-cakap atau sekedar kenalan. Nisa tau Iqbal karena Iqbal adalah mahasiswa senior yang terkenal acuh, tidak pernah peduli dengan urusan perempuan walopun kalo dilihat dari penampilan fisik bisa dikatakan golongan sedap dipandang mata, lulusan terbaik dan tercepat angkatannya serta pernah sebagai mahasiswa teladan.
Tapi tak terbayangkan sebelumnya kalo Iqbal anak Prof. Cokro. Karena penampilannya sangat sederhana sekali dan tak pernah membawa motor atau mobil ke kampus. Dan cenderung tidak terlalu banyak kata yang pernah keluar dari mulutnya.
Ada salah satu sahabat Iqbal, Rudi yang menaruh hati pada Nisa 2 tahun yang lalu, tapi dengan bijaksana Nisa mengatakan kalo sampe saat ini belum ada keinginan untuk membuat komitmen dengan laki-laki manapun, sehingga Rudi mundur teratur.
“Tidak seharusnya papa memaksa kamu melakukan ini semua, Nis”
“Aku sudah menyetujuinya” Nisa berkata pelan.
“Aku juga sebenarnya belum ingin melangkah ke hal berat kaya gini, tapi aku juga terlanjur menyetujui apa yang diinginkan papa”
“Aku sebenarnya heran dan tidak percaya sampe ada laki-laki yang jodohnya ditentukan orang tuanya.” Kata Nisa menohok Iqbal setelah agak bisa menguasai keadaan.
Iqbal tersenyum, aduh manis banget, “Aku memang dari dulu minta dicarikan istri papa. Walopun aku sendiripun bisa mencari sendiri. Rencana hidupku, selain menjalankan proyek yang sudah aku rintis bersama Rudi sejak semester 1, aku mau nikah setelah cewek yang aku pilih lulus kuliah. Tapi papa kemaren kembali mengingatkan kalo aku sudah kadung menyerahkan urusan nikah ma orang tua, yah aku akhirnya manut saja kapanpun aku dinikahkan ya aku harus siap.”
“Kamu sudah punya kekasih?” selidik Nisa. “Kasian kalo tiba-tiba begitu saja kamu tinggalkan”.
Iqbal menggeleng.
“Katamu tadi dah ada cewek yang kamu pilih untuk jadi istrimu.” Nisa heran.
“Tapi kan ga harus jadi pacar?” tanya Iqbal.
“La statusnya apa?”
“Ga da status apa-apa. Komitmenpun aku ga pernah ada. Cuma aku pengen dia jadi pendampingku kelak. Tapi sudahlah hal itu ga penting, ga sah dibahas.”
“Lalu pernikahan apa yang akan kita jalani nanti?” Nisa bertanya mengambang.
“Kita jalani saja seperti mengikuti arus air mengalir. Kemana kita dibawa, kita ikuti saja.” Iqbal santé banget menanggapi pertanyaan Nisa.
Nisa menghela nafas panjang dan dengan pelan bertanya pada Iqbal sambil melirik sedikit kearah anak laki-laki Prof Cokro.
“Seberapa penting arti pernikahan bagimu?”
“Sakral, penting dan hanya satu kali seumur hidup. Kalo menurutmu?” tegas Iqbal mantab. Matanya hanya memandang rumpun bunga melati yang ada dibawah pohon mangga beberapa meter didepannya. Dia kalo di rumah sering sekali bangun pagi segera menuju rumpun melati itu dan menghirup harum bunganya. Serasa otak jadi segar dengan mencium harumnya melati. Melati akan sangat harum di pagi hari. Memberikan semacam aroma terapi bagi kesegaran otak.
“Aku juga sependapat. Tapi kenapa kamu terlihat tanpa beban menghadapi pernikahan kita yang kurang 3 hari”.
“Kalo dianggap sebagai beban, kita akan berat menjalaninya. Apalagi bagi dirimu, pernikahan ini pasti sangat penting karena inilah syarat dari papa supaya kamu bisa lulus. Kamu sanggup kan untuk menjalaninya bersamaku. Aku ga akan menuntut kamu untuk mencintaiku. Atau terpaksa mencintaiku. Kecuali kalo memang dengan berjalannya waktu kita ga bisa bersama lagi ya apa boleh buat.” Nisa tau kearah mana pembicaraan mereka.
“Mau tidak mau aku ya harus setuju karena aku sendiri yang bilang bapak untuk mencarikan aku istri.” Lanjut iqbal. “Dan seharusnya tidak dengan cara seperti ini. Kasian kamu yang dengan paksaan di giring bapak sampe kesini.”
“Ga sah kuatir dengan keadaanku. Setelah menikah, yang aku pinta, ijinkan aku menyelesekan skripsi supaya aku cepet wisuda. Bapak sudah janji tidak akan menghambat skripsiku lagi. Aku cape dibante setiap kali menghadap beliau.”
“Itu sudah pasti. Nanti setelah kita menikah, kita menempati rumah sendiri, jadi kamu tidak akan setiap hari ketemu papa. Aku sudah 1 tahun ini tidak tinggal bersama papa.”
Dalam hati Nisa bersyukur sekali mendengar perkataan Iqbal.
…………………………….
Acara di pagi hari itu berjalan lancar. Pak Cokro beserta rombongan meninggalkan rumah Nisa begitu acara selese. Acara berlangsung sangat sederhana. Karena untuk persiapannyapun tidak pake waktu lama.
Hanya kerabat dekat keluarga Nisa yang datang selain petugas dari KUA. Pak Cokro sendiri hanya membawa anak laki-lakinya beserta kedua kakak Iqbal yang datang dari Jakarta bersama para suami. Kedua kakak Iqbal mengikuti suami masing-masing yang kebetulan sama-sama bekerja di Jakarta. Mereka bersedia datang ke pernikahan sang adik laki-laki satu-satunya.
Sepulangnya para tamu, debaran jantung Nisa semakin tidak bisa dikontrol. Ande tidak karena Iqbal, mungkin jadi lain. Tapi yang dihadapinya adalah laki-laki cool. Apa yang terjadi nanti, Nisa ga mau membayangkan. Karena dengan membayangkan, hatinya semakin menggigil dan ketakutan yang luar biasa.
Mau tidak mau Nisa harus menghadapi ini semua. Perasaannya yang tidak menentu membawa Nisa masuk kamar diikuti Iqbal. Mereka duduk di tepi tempat tidur. Tanpa keluar sepatah katapun. Sepertinya keduanya masih berkutat dengan pikirannya masing-masing. Hal ini berlangsung 5 menit, kemudian,
“Kalo kamu minta aku tidak boleh menyentuhmu, aku tidak keberatan. Tapi ijinkan aku mencium pengantinku 1 kali saja”. Pinta Iqbal pelan tapi mengagetkan lamunannya. Selain rasa kaget, permintaan Iqbal membuat tubuh Nisa gemetar dan jantung rasanya berdegup 10x lipat dari biasanya. “Semoga aku tidak pingsan, Ya Allah”, pekik Nisa dalam hati.
“Kamu boleh menolaknya kalo kamu memang tidak menghendakinya”. Kata Iqbal lagi dengan suara yang masih pelan dan di telinga Nisa terasa sangat merdu dan lembut.
“Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku belum pernah disentuh laki-laki” batin Nisa berkecamuk.
Nisa hanya diam tak berani menatap Iqbal yang sekarang posisinya sebagai suami. Dan Nisa tak berfikir untuk menjawab kecuali tahu-tahu tubuhnya sudah berada dipelukan Iqbal dan sebuah kecupan mesra mendarat di keningnya. Sensasi yang dirasakan Nisa sungguh luar biasa, ada perasaan tenang dan damai di hatinya.
Sesaat kemudian Iqbal mengurai pelukannya sambil tersenyum, mengangkat dagu Nisa pelan,
“Jangan terlalu dijadikan beban, ya sayang”.
“Aduh mengapa sih Iqbal jadi mesra kaya gini, pertahananku bisa jebol dalam waktu singkat. Apakah dia mencintaiku. Kenapa dia sama sekali tidak nyuekin aku saja. Kenapa kok dia seperti ini?” Nisa berkata dalam hati.
Tiga hari di rumah Nisa, Iqbal kemudian membawa Nisa kerumahnya. Selama itu pula Iqbal tidak berani menyentuh Nisa. Walo seujung rambutpun. Kalo di dalam kamar mereka hanya berbicara dan betul-betul tidur. Tak ada aktifitas lain. Bahkan setiap hari Iqbal malah lebih asyik dengan kolam ikan gurami mertuanya bila dibandingkan waktu kebersamaannya dengan Nisa.
Nisa tidak mau memikirkannya, dia berusaha tetap bersikap wajar supaya tidak menimbulkan tanda tanya di hati orang tuanya. Nisa tidak bakalan tega untuk menyakiti hati kedua orang tuanya. Nisa menjalani pernikahan dengan hanya setengah kemantapan hati. Hanya untuk memenuhi syarat Prof Cokro agar dia bisa lolos S1. Kalo sudah lulus, wisuda, kan sudah tak ada kesepakatan diantara dosen pembimbing dan mahasiswanya. Jadi Nisa bisa saja langsung melepaskan ikatan pernikahan itu. Nah itulah yang membuat Nisa agak tenang. Apalagi bila ditambah sikap Iqbal yang sangat menghargai Nisa. Apapun yang dikehendaki Nisa, Iqbal memenuhi.
Di mata Nisa selama 3 hari ni, Iqbal sangat santun dan menghormati Nisa, dan tanpa rasa canggung sedikitpun Iqbal bersikap mesra dan lembut padanya. Jauh dari kesan cool dan cuek yang slama ini melekat pada diri Iqbal. Teman-temannya yang menyebutnya demikian.
Ada hal yang terlupakan oleh Nisa. Perlakuan Iqbal yang tidak ada cacatnya selama tiga hari dirumah mungkin untuk menghormati Nisa di depan kedua orang tuanya. Nisa baru menyadarinya dalam perjalanan pulang ke Semarang, “Apakah nanti dirumah yang hanya ada kami berdua sikap Iqbal masih sama dengan ketika masih dirumah bapak ya?” pikir Nisa yang kemudian membuatnya agak ketakutan dan hampir saja membuatnya meneteskan air mata.
Iqbal seakan mengetahui suasana hati Nisa,
“Da yang ketinggalan, Sayang?” Tanya Iqbal melihat keresahan Nisa.
“Ah enggak kok”. Nisa berusaha menyembunyikan rasa takutnya. “Kenapa sih Iqbal sok mesra gitu?” gerutu Nisa, tentunya pada dirinya sendiri. Debar jantung Nisa akan bertambah cepat bila Iqbal memanggilnya ‘sayang’ .
Dan tidak terasa mobil yang dikemudikan Iqbal sampe di rumah. Rumah yang menurut Nisa sungguh kelihatan sangat rapi dan indah untuk ukuran laki-laki. Yah walopunukurannya lebih kecil bila dibanding rumah Pak Cokro. Rumah itu bercat hijau, mengesankan kesegaran dan rasa semangat bagi penghuninya. Iqbal sudah menempati rumah itu sejak satu tahun yang lalu. Dia lebih memilih tinggal rumah itu karena dekat dengan bisnis yang dikelolanya.
Selama satu tahun itu Iqbal menempati rumah sendirian. Tapi kadang beberapa teman S2nya yang dari luar kota menginap dirumah itu, gratis.
Walopun bangunannya berjarak 2 m saja dari pagar depan, tapi halaman yang sempit itu terdapat rumpun melati dan beberapa bunga eporbia dan sensivera. Ada juga pohon rambutan yang kira-kira baru berumur setengah tahun.
Pintu rumah mungil terbuka dan dengan mesra Iqbal memeluk tubuh Nisa dari belakang. Nisa kembali bergetar dan membiarkan Iqbal melakukan.
“Sayang, kamu tidak marah kan?” tanya Iqbal persis ditelinga Nisa yang masih tertutup jilbab.
Nisa diam dan menggeleng pelan. Dia hanya ingin mengikuti kata hatinya saja. Dibawa kemanapun dia ihklas, karena bagaimanapun Iqbal sah sebagai suaminya.
……………………
Malam harinya, mereka duduk di ruang santé dengan kondisi yang sangat mesra dan sudah agak saling menyesuaikan diri, mungkin karena pesona Iqbal yang begitu mempengaruhi nurani Nisa tadi sore sehingga mampu meruntuhkan rasa takut, canggung dan kuatir Nisa.
“Kak, aku mau cerita.”
“Aku juga punya cerita untukmu, Sayang,” Iqbal memeluk Nisa dan menciumi rambut Nisa yang harum dengan mesra.
“Aku pernah menyukai seorang laki-laki. Pinter, sholeh dan kaya. Tapi sayangnya laki-laki itu teramat cuek.”
“Lalu apa yang terjadi?”
“Ya tidak terjadi apa-apa, wong aku kan Cuma cerita pernah suka ma laki-laki cuek. Sudah tentu dia ga peduli padaku”. Nisa menggoda Iqbal.
“Kamu pengen membuat aku cemburu ya?” seloroh Iqbal, “Aku ga peduli. Yang penting kepemilikan akan dirimu ada ditanganku”.
“Emange aku barang yang bisa dimiliki siapapun?”
“La buktinya aku memilikimu kan? Oya, waktu kamu menolak Rudi aku juga tau.”
“Jelas kakak tau. Kalian berdua kan sering bersama. Sampe bikin bisnispun bersama. Sayangnya Rudi tidak memenuhi semua prinsip yang aku pegang. Andekan Rudi punya apa yang aku cari, pasti aku juga akan mengikuti apa yang dia mau”
“La kenapa kamu kok mau nikah denganku?”
“Papamu yang memaksaku. Kalo tidak, aku ga lulus. Lagian kamu juga menggodaku terus. Aku jelas tidak tahan dengan semua kelembutanmu, kak”. Sebuah pengakuan tulus keluar dari mulut Nisa.
Iqbal mengeluarkan dompet yang ada di saku celana dan memperlihatkan sebuah foto yang agak kumal karena terletak didompet.
“Foto siapa kak?”
“Foto cewek yang aku harapkan menjadi pendampingku.” Kata Iqbal mantab.
Nisa memegang foto dengan perasaan tidak karuan. Kaget dan tertegun melihat gadis yang ada di foto itu.
Iqbal memeluknya lebih erat dan mencium mesra pipi Nisa yang masih terbengong.
“Siapa yang mengambil gambar ini Kak? Dimana itu peristiwanya kak?”
“Sebenarnya aku menyimpannya secara tidak sengaja. Kamu masih ingat kan sayang, Rudi waktu itu emang bener-bener menginginkanmu. Dia mengambil gambar itu dengan menggunakan HPku waktu seminar di gedung A5 3 tahun lalu. Sampe rumah, kami langsung mencetaknya. Sebelum berada di dompetku sebenarnya foto ini sudah berada didompet Rudi 3 tahun. Aku baru menyimpannya sekitar setengah tahun ini. Karena Rudi sudah tidak lagi punya harapan memiliki kamu. Kamu lihat sendiri kan, begitu S1 selese dia tidak lagi disini tapi lebih memilih ke Jogya saja agar bisa dengan mudah melupakan kamu, sayang. Foto itu sebenarnya sudah dibuang, tapi aku mengambilnya tanpa sepengetahuan Rudi.” Iqbal menerangkan panjang lebar. “ Sebenarnya aku mau dia lulus dulu baru aku melamarnya, tapi papa memaksaku nikah sekarang ya aku manut saja.” Kata Iqbal kalem.
“Makanya kakak tanpa beban sedikitpun nikah denganku. Kakak ya yang memaksa papa untuk melamarku?” Nisa cemberut. Karena melihat kenyataan yang sama sekali diluar dugaannya. Foto yang ada didompet Iqbal adalah foto Nisa waktu jadi pembawa acara di seminar kampus 3 tahun lalu.
Tak heran kalo Iqbal tidak melakukan perlawanan yang berarti waktu disuruh nikah cepat-cepat karena cewek yang disodorkan bapaknya adalah cewek yang selama ini diharapkan jadi pendamping hidupnya, begitu kira-kira yang berkecamuk di hati Nisa.
“Bukan begitu ceritanya. Aku bener tidak tau kalo cewek yang dilamar papa itu kamu, sayang”. Elak Iqbal serius.
“La mengapa prof sampe segitunya memaksa aku kalo ga kak Iqbal yang memaksa. Kakak takut aku tolak seperti Rudi ya?”
“Ngapain aku nyuruh papa memaksa kamu? Tadi kan aku dah bilang, aku akan melamar kamu setelah kamu lulus. Masih ga percaya?”
Nisa menggeleng kuat. Nisa yakin banget kalo pernikahan ini tidak hanya rekayasa Prof tapi juga melibatkan Iqbal.
“Kalo kamu ga percaya juga, kita tanya papa saja sekarang”. Iqbal menegaskan.
“E jangan dulu, aku belum lulus. Besok saja setelah wisuda”. Cegah Nisa buru-buru.
“Nanti kamu penasaran?”
“Ga, ngapain juga penasaran?” Nisa menyembunyikan perasaannya
“Masih mangkel ga ni ma aku dan papa?” goda Iqbal
“Ya. Kalian kejem.” Kata Nisa pelan menggelayut di lengan Iqbal, tidak bener-bener marah.
“Jadi kita nikah terpaksa ga ni?”
“Mbuh”
“Laki-laki yang kamu sukai itu temennya Rudi kan, makanya kamu tega menolak Rudi yang tergolong tajir abis?” Memang keluarga Rudi termasuk keluarga terpandang di kota Kendal. Memiliki beberapa bisnis yang punya omset nasional.
Sejak semester 1 Rudi bersahabat dengan Iqbal dan menjalin kerjasama dengan membuka “Warung Mahasiswa” dengan modal pinjaman dari masing-masing orang tua mereka. Bisnis mereka termasuk cepat perkembangannya. “Warung Mahasiswa” menyediakan segala macam kebutuhan mahasiswa. Dan sampe saat ini di Semarang sudah ada 5 “Warung Mahasiswa” yang berdiri di 5 kampus. Tapi sejak gelar sarjana mereka peroleh, Rudi lebih mengembangkan usahanya di kota Jogya. Dan S2 nya ditempuh di kota gudeg itu.
Nisa mendelik mesra, “Sok tau”. Nisa jaga gengsi.
“La nyatanya kamu mau digoda dia?”
“Ya deh nyerah, mang aku suka cowok super cuek yang suka bareng Rudi”. Nisa pasrah karena memang dari dulu sudah menyimpan rasa kagum pada Iqbal yang teramat sangat cool, cuek, dan pinter banget.
“Aku jadi curiga.” Nisa keningnya berkerut sambil berusaha mengingat, “Yang ngirim laptop kak Rudi atau Kak Iqbal ya?” selidik Nisa
“Nis, Rudi itu kurang perjuangan untuk mendapatkan kamu, sayang. Kalo aku kan usahanya dengan berdoa setiap jam 3 malam. Berdoa agar aku didekatkan dengan siapa jodohku kelak, gitu. Terutama ya berdoa supaya kamu yang didekatkan padaku. Kalo hanya sekedar laptop, itu tidak seberapa. Kamu harganya jauh lebih mahal bila dibanding dengan harga laptop. Aku ga tega melihat kamu mondar mandir ke rental computer ngetik skripsi dan makalah orang lain sebanyak itu tiap hari. Belum lagi setiap pagi sampe siang kamu membantu Bu titik. Aku membayangkan dirimu pasti kalo tidur nyenyak banget karena kelelahan yang kamu dapat setiap hari kaya gitu.” Iqbal menjelaskan dengan lembut sambil mengusap pipi Nisa dan menciumnya mesra.
Nisa melupakan kejengkelannya pada Prof Cokro dan suaminya yang telah memaksanya menikah. Ternyata laki-laki yang bersamanya kini sudah lama memperhatikan gerak gerik Nisa tanpa sepengetahuan Nisa. Benar kata Ratih kalo ada pengagum misterius. Dalam hati Nisa bersyukur ternyata pernikahannya tidak seburuk yang dibayangkan selama 2 minggu ini.
………………………………………
Seperti yang sudah dijanjikan Prof Cokro, dalam waktu 2 bulan Nisa sukses mengerjakan skripsi tepat pada waktunya. Pagi itu dengan perasaan bahagia tak terkira Nisa dengan mantab melangkahkan kaki ke dalam gedung tempatnya di wisuda. Sang suami tercinta beserta kedua orang tuanya menunggu sampe prosesi wisuda selese.
“Akhirnya kita bisa lulus bareng ya Nis?” kata Ratih berbisik pada Nisa yang duduk disebelahnya.
“Alhamdulillah”. Nisa menjawabnya bahagia.
“Kamu masih utang cerita padaku kenapa kamu memutuskan menikah sebelum lulus.”
“Aku terpaksa Tih” bisik Nisa
“Terpaksa tapi kok lengket banget ma suamimu?”
“La terpaksanya sesuai harapan sih”
“Kok gitu?”
“Sapa coba yang ga mau dipaksa nikah ma orang semenarik kak Iqbal. Kamu saja dulu pernah bilang kagum ma dia?”
“Yang maksa kamu nikah sapa sih?”
“Rahasia”.
“Kamu gitu ya sekarang?”
“Ratih sayang, tidak semua kisahku kamu musti tau?”
“Nis. Ayo kasih tau” Ratih mencubit pinggang Nisa
“Ayo mulai berdiri. Itu yang dibacakan dah sampe jurusan kita.” Perintah Nisa yang membuat Ratih masih penasaran.
“Kamu tau orang yang berdiri disamping rector?” bisik Nisa
“Itu kan dosen pembimbingmu? Pak Cokro kan?”
“Beliau yang memaksaku”. bisik Nisa pelan.
“Masa sih? Beliau kan ga da hubungan keluarga ma kamu kok kamu dipaksa beliau?”
“Aku dipaksa nikah ma anaknya” tegas Nisa mengakhiri pembicaraan karena mereka sudah berada di depan.
“Hah?”
………………………………
“ Selamat ya Nduk. Hari ni kamu cantik banget.” Ibunya memeluk penuh haru.
“Kita langsung kerumah ato mau kemana nih?” Sang mantu menawarkan jasa baiknya.
“Aku lapar kak” kata Annas, sang adik.
“Langsung ke rumah makan saja kak” kata Nisa memutuskan.
Sesampai dirumah makan Nisa merasa tak enak perutnya. Mual minta ampun sejak menghirup harum bau bawang goreng dan bau bakso yang ada di rumah makan tersebut. Dia menuju kamar kecil dan berhasil sukses memuntahkan snack yang dimakannya waktu acara wisuda tadi.
“Kak aku ga tahan bau bakso kenapa ya?” bisik Nisa pada Iqbal sekembali dari kamar kecil.
“Kenapa? Aneh kamu ni, setiap kali da bau bakso langsung mual”.
“Da pa Nis?” tanya bapak sambil menyantap nasi yang sudah terhidang di meja?
“Kamu cape ya?” tanya ibu.
Belum sempat Nisa menjawab pertanyaan ibu, kedua orang tua Iqbal datang karena tadi sudah janjian bertemu sambil makan siang bersama.
“Hidungmu kenapa Nis kok kamu tutupi terus?” Tanya Bu Cokro.
“Ga tau ma, beberapa hari ni dia agak aneh. Setiap ada bau bakso pasti pengen muntah” kata Iqbal sambil memasukkan makanan kemulutnya.
“Wah kabar gembira nih” seru Bu Cokro
“Mama kok bilang gembira bagaimana? Besok pagi kita ke dokter saja sayang, siapa tau ada kelainan di perutmu.” Kata Iqbal pada Nisa.
Nisa hanya mengangguk saja dan hilanglah selera makannya. Dia hanya melihat orang-orang di sekitarnya makan dengan lahap, sementara betapa tersiksanya dia menahan rasa mual dan menutup hidungnya dengan tisu.
“Kapan kamu mens terakhir Nduk?” tanya ibu pelan.
“Ya waktu aku pulang sebelum menikah dulu, setelah ibu ngecek apa aku nikah karena hamil atau tidak.” Jawab Nisa lemes dan akhirnya tau kearah mana ibunya menggiring untuk menemukan pemecahan masalah. “Berarti hamil Bu?” Nisa membelalakkan matanya seakan tak percaya dengan keadaan dirinya.
Nisa melihat ibunya mengangguk mantap. Bu Cokropun tersenyum. Sementara Iqbal terbengong tidak percaya.
…………………………..
“Sayang, ini sangat menakjubkan!” seru Iqbal setelah mengantar ibu, bapak dan anas ke terminal untuk kembali ke kampung sambil memeluk Nisa untuk meluapkan kegembiraannya karena Nisa sudah mengandung anaknya.
“Ijinkan aku kuliah lagi ya?” pinta Nisa merajuk.
“Ok. I really, really I love u so much!” Iqbal mengiyakan sambil mencium Nisa.
“Sayang, kamu masih punya utang satu lagi padaku” Kata Nisa cengengesan.
“Apa itu?” Iqbal berusaha mengingat utang yang belum dibayarkan pada sang istri tercinta.
“Antar aku kerumah papa”. Rajuk Nisa.
Iqbal tersenyum ingat akan utangnya, “Katanya kamu ga penasaran?”
“Ya biar aku yakin saja kalo pernikahan kita tidak hasil rekayasa Kak Iqbal”.
“La kalo benar rekayasaku kan ya ga papa? Kamu saja sekarang lebih ceria gitu bila dibandingkan sebelum kamu menikah. Kan berarti pernikahan kita membuatmu bahagia. Ditambah sebentar lagi akan ada buah cinta kita.” Goda Iqbal.
“Pokoknya antar aku kerumah papa. Aku masih ingat, papa juga berjanji suatu saat akan menjelaskan kenapa sampai tega memaksaku menikahi anaknya yang suka menggodaku.” Rajuk Nisa lagi yang membuat Iqbal tidak tahan untuk memenuhi keinginan istri tercintanya.
Sementara 5km dari tempat tinggal mereka Pak Cokro tersenyum pada sang istri.
“Aku sempat menyangsikan rumah tangga mereka ma tidak bertahan lama.” Pak Cokro mulai pembicaraan.
“Nisa anak baik Pa. Lagian sesuai yang papa ceritakan, prinsip yang mereka pegang nyaris sama. Aku sendiri juga tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Kupikir Nisa hanya mengambil keuntungan dengan mengiyakan syaratmu dan kemudian meninggalkan anak kita setelah tujuannya tercapai yaitu wisuda.”
“Makanya kamu jangan menyangsikan anakmu sendiri dalam merayu perempuan. Kamu kan yang kebakaran jenggot waktu Iqbal omong agar istri untuk dia kita yang mencarikan. Kamu malah menganggap anak kita punya kelainan.”
“Iya Pa. Coba kalo dulu papa ga menyarankan mama untuk mencari tau siapa yang sebenarnya diharapkan anak kita, sampe sekarang ya pasti Iqbal masih menyimpan perasaannya itu Pa.”
Sebenarnya Pak Cokro berusaha mencari tau ada apa dengan anaknya yang tidak mau menjalin hubungan serius dengan perempuan manapun. Dan ide bu Cokro adalah menggeledah kamar anak laki-laki kesayangannya.
Setelah lama mengobrak abrik kamar Iqbal, tentu saja tanpa sepengetahuan pemilik kamar, tidak menemukan apa-apa, Bu Cokro menekan tombol on laptop Iqbal yang kebetulan tidak di bawa ke kampus atau ke warungnya.
Nah dari situlah sang mama tau perempuan yang ada di hati Iqbal. La begitu di nyalakan, desktop laptop adalah foto seorang gadis yang sedang pegang mix dengan latar belakang kampus tempat Iqbal kuliah. Akhirnya hilanglah dugaan kalo anak laki-laki satu-satunya adalah laki-laki tidak normal.
Bu Cokro tau sekali gimana keseharian Iqbal. Lebih banyak diam. Kalopun bicara ya kalo sedang berdebat dengan papanya atau bercanda dengan keponakannya. Tidak pernah membawa cerita tentang cewek apalagi sampai membawa teman ceweknya ke rumah. Bahkan yang membuat Sang mama curiga dengan keadaan anaknya ketika Iqbal mengatakan kalo papa dan mama saja yang memilihkan istri untuknya. Dengan alasan dia males dengan urusan perempuan, terlalu merepotkan katanya.
“Assalamu’alaikum” terdengar salam dari pintu depan,
Pasangan suami istri itu menoleh,
“Wa’alaikum salam” sambut Bu Cokro.
“Wah baru saja kami bicara tentang kalian. Sini duduk!” perintah Pak Cokro.
Iqbal dan Nisa duduk,
“Da pa nih? Tumben kesini malam-malam, hujan lagi.” Tanya papa.
“Ni Pa, Nisa mau tanya papa.” Kata Iqbal, “Sampe ga sabaran nunggu besok. Bawaan bayi kali ya pa?”
Pak Cokro dan Bu Cokro tersenyum,
“Da pa Nis?”
Nisa melempar pandang kearah Iqbal dengan perasaan segan. Iqbal segera memahami isyarat Nisa, berarti Nisa lagi memberikan wewenang kepada Iqbal untuk bicara mewakili dirinya,
“Nisa mau tanya papa, kenapa papa sampe tega memaksa dia menikah dengan anak papa sebagai syarat supaya bisa lulus.”
“Maafkan papa mama sayang”. Mama mewakili papa untuk menjawab pertanyaan Iqbal dengan tersenyum kecil.
“Apa Kak Iqbal yang memaksa papa untuk melamarku?” tanya nisa pelan setengah memendam rasa takut dan segan.
“O Iqbal dalam hal ini tidak tau. Itu murni perbuatan mama dan papa.”
“Ceritanya, mamamu itu seperti orang kebakaran jenggot mendengar Iqbal minta dicarikan istri. Mama menduga ada yang tidak beres dengan kamu, sayang. Bahkan mama menyangka kamu punya kelainan”. Papa memandang Iqbal. “Akhirnya papa menyarankan untuk diselidiki dulu kenapa kok sampe Iqbal seperti itu. Dan langsung saja mama tak sabar mengobrak abrik kamar kamu. Siapa tau menemukan hal yang mencurigakan. La dari situ mama tau kalo kamu ternyata menyukai Nisa.”
“Darimana papa tau kalo aku suka Nisa?” tanya Iqbal penasaran.
“Mama setengah putus asa karena tidak menemukan apa-apa menghidupkan laptopmu. Disitulah ada satu-satunya foto perempuan. Foto Nisa. Papa langsung saja mengusulkan pada jurusan untuk menjadi dosen pembimbingnya. Jadi berulang kali kamu mengajukan judul selalu gagal karena papa sengaja ingin tau seperti apa gadis yang dicintai Iqbal.”
“Mama penasaran sekali dengan kamu sehingga papa menyuruh kamu kerumah hanya untuk sekedar menemani mama ke pasar.” Mama menambahkan.
“Akhirnya kami berdua memaksamu untuk menikah.” Kata papa akhirnya.
“Percaya kan? Aku saja baru diberitau papa untuk menikah 3 hari menjelang hari H.” Iqbal memandang Nisa.
“Ya maap!” kata Nisa tersipu malu.
Papa dan mama tersenyum bahagia melihat rencana yang tersusun satu semester ini berjalan sukses tanpa ada halangan berarti. Dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Baca selengkapnya...

Pengikut